Siang itu terik
matahari tepat diatas ubun-ubun. Keringat mengucur menyirami wajahku, saat
menanti antrian order di pangkalan taksi depan hotel. Hawa panas menemani setiaku
menunggu order dan menanti pengguna hotel yang tak kunjung melirik jasa taksi. Berharap
datangnya panggilan operator dan penantian tamu hotel, tak luput menambah
deretan waktu tunggu antrianku. Berharap secepatnya antrian pertama mendapatkan
penumpang, akhirnya kucoba untuk mendinginkan suasana hati para sopir yang
gundah menunggu. Kuangkat topik pro dan kontra jalan tol tengah kota Surabaya sebagai
pembicaraan para sopir taksi yang tak laku-laku. Tak pelak diskusipun menyeruak
menjadi hiburan semata wayang yang penuh kontroversi. Ada yang pro dan ada yang
kontra, membuat beberapa sopir saling beradu argumen untuk menuangkan solusi masing-masing.
Selingan canda, tawa juga menghiasi nuansa yang penuh dengan keakraban disaat
kejenuhan melintasi lingkup pangkalan.
Hampir satu jam
waktu berlalu, bicara sana-sini tak juntrung solusi diindahkan. Semua penuh
dengan solusi yang tak tentu salah benarnya. Intinya, selingan diskusi menyemarakkan suasana tanpa
memperdulikan waktu menunggu. Rileks, bicara apa adanya serta blak-blakan
menjadi karakteristik pembicaraan tersendiri para sopir. Sejenak berkata dalam
hati kalau secara psikologis, diskusi yang kuangkat menjadi pengalih kejenuhan
menunggu. Dan dikala suasana tambah runyam, dalam artian saling mulai
membenarkan satu sama lain kubesarkan volume radio panggil. Dengan harapan
suara operator radio terdengar jelas dan akan informasi dapat dimonitor tepat.
Tapi ketika cek dan ricek kuperiksa ternyata radio panggil memang masih diam
membisu, resahku juga turut menghantui. Bergulirnya waktu, diskusipun turut
menyumbang beberapa kritik dan saran untuk mengurangi kemacetan di Surabaya. Mulai
pengurangan jumlah kendaraan, penambahan jalan sampai terjerumus banyaknya
urban ke kota menambah panjang rentetan argumen yang menghiasi. Maklum, kita
yang sering hidup di jalan memberikan pengalaman tersendiri akan keruwetan kota
Surabaya yang semakin menyamai kota metropolitan Jakarta. Tetapi kritik dan
saran yang ada hanya sebatas lingkup pangkalan, belum ada yang berani blak-blakan
atau setidaknya inspirasi mereka tersalurkan menjadi sumbangsih DPRD (Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah). Ya..sebatas wacana lingkup pangkalan, menjadi pemicu
akan usul dan ide yang terbelenggu.
Saat forum
kecil-kecilan itu berujar sana-sini, terdengar dua kali tepuk tangan dari bell boy hotel. Memanggil taksi yang stand by untuk segera merapat ke lobby
hotel. Isyarat yang lazim dipakai bell
boy, menandakan tamu hotel membutuhkan taksi. Giliran antrian pertama,
waktu itu pak Slamet lambung taksi E89 dengan girang segera merapat lobby. Diskusipun
terhenti, tak lupa pak Slamet berujar kata pamit dan bergegas menjemput tamu. Berkurang
satu antrian, kupindahkan taksiku di belakang pak Tukijan lambung F70 sehingga
sesuai urutan tunggu. Pak Tukijan di urutan pertama, berharap datangnya order
dari bell boy atau order panggilan
radio sesegera mungkin. Dengan penuh kesabaran pak Tukijan senatiasa stand by di kursi pengemudi sambil
mendengarkan radio panggil yang menyerangi. Akupun tak kalah sigap, kubersihkan
kembali ruang dalam taksi, berharap mendapat tarikan yang jauh dan penumpang
tak turun-turun. Setelah selesai kubersihkan, kuhampiri pak Tukijan sambil
menunggu orderan samping taksi beliau. Kusapa pak Tukijan, “gimana pak kabar
anak dan istri?” ujar beliau menyambut “baik, sekarang anak saya yang pertama
dah di Bekasi memimpin kantor cabang sana”. Jawabku “wah hebat dong pak”. Pinta
beliau, “iya, anakku yang sebelumnya di kantor Jakarta dirasa bosnya cukup
mampu mengembangkan di kantor cabang Bekasi”. Terbesit pikiran bangga, bahwa
nggak hanya orang yang berkemampuan yang bisa punya anak sukses, tetapi sopir
taksipun juga mampu. Kembali kubuat suatu pembicaraan sambil menunggu order,
pintaku “trus, emang dulunya anak pertama bapak lulusan apa? Jawab beliau
dengan sedikit bangga “dulu anakku lulusan ITS (Institut Teknologi Surabaya)”.
Melayang pikiranku sebentar, dalam hati kubicara “wuih, hebat benar”.
Kulayangkan kembali pembicaraan dengan pak Tukijan, “trus kalo istri kerja juga
pak”. Sahut beliau, “enggak mas, istri dirumah mengurus ternak”. Jawabku dengan
penasaran “wah, mang lagi ternak apa pak”. Pinta beliau, “ternak bebek, dibantu
anakku yang kedua mas”. Disini kembali pikiranku melayang, dalam hati kuberkata
“jika semua kita tekuni dalam hidup dan senantiasa bersyukur pada-Nya serta ada
niat yang gigih, tidak mustahil semua itu terjadi”. Kegigihan seorang bapak
yang bertanggungjawab atas anak dan istrinya kembali mengingatkanku akan bapak
dan ibuku yang nan jauh di Yogyakarta. Sambil kutepuk pundak beliau kuucapkan
rasa bangga pada pak Tukijan. Dan kembali beliau berujar “terima kasih,
mas…semua itu saya lakukan dengan tekun dan ikhlas”. Terenyuh hatiku mendengar,
serasa ada aliran yang menggelontor kesejukan hati ini.
Tak lama
berselang, radio panggil yang tadi membisu melontarkan order pangkalan hotel.
“Permata satu..Permata satu”, dengan sigap pak Tukijan menjawab radio panggil
“masuk..masuk F70 disini”. Jawab operator, “F70 meluncur RSJ (Rumah Sakit Jiwa)
Menur Surabaya, lobby”. Tanpa jawab panjang pinta pak Tukijan, “masuk,
meluncur”. Bergegaslah pak Tukijan menyambar kemudi taksi dan meluncur. Bergesernya
pak Tukijan sekarang giliran urutanku yang pertama. Setelah kupindahkan taksiku
urutan pertama, stand by di kursi
kemudi sambil kupegang extra mix
radio. Berharap dengan cepat orderan datang cepat, kubesarkan volume radio. Tak
selang lama, kira-kira lima menit pak Tukijan melesat kulihat samar-samar dari
samping hotel, lambung taksi F70 memasuki area pangkalan. Tak lama kemudian
beliau menghampirku dan berkata, “mas orderan RSJ kamu ambil aja”. Pintaku,
“mangnya kenapa pak?” tanpa alasan yang tepat jawab beliau, “gak apa-apa, kamu
mau nggak?. Pinta beliau, “kalau mau, kusampaikan operator kalau yang meluncur
kamu”. Tapi sambil kulihat raut muka pak Tukijan, serasa ada hal yang aneh. Sembari
pak Tukijan memarkirkan taksinya kembali, kuhampiri beliau dengan menanyakan ada
apa sebenarnya?. Pintaku, “pak, emang kenapa toh kok nggak diambil orderannya?”
Jawab beliau, “males aja mas”. Dengan gusar kembali kutanyakan, “kenapa toh pak
dikasih order kok males?”. Akhirnya dengan gempuran beberapa pertanyaan yang
membuat pak Tukijan serasa terpojok, ngakulah beliau berujar. “Begini mas, tadi
kan orderan RSJ. Jadi aku males aja jika nanti yang kuangkut orang gila” pinta
pak tukijan sambil cengengas cengenges (senyum cengir). Ha..ha..ha..akupun
terpingkal-pingkal mendengar dan membayangkan jika aku yang mengangkutnya juga.
Padahal tak terbesit sedikitpun waktu itu aku berpikir akan membawa orang gila.
Tetapi karena mungkin Pak Tukijan sudah berpikir kesana jadi yang terbayang
membawa orang gila juga. Dan setelah hampir sepuluh menit kita ngobrol,
terdengar suara operator memanggil lambung F70. “Flores 70..Flores 70”, teriak
operator. Kupanggil pak Tukijan kalo operator mencarinya. Tetapi dengan nada
kembali terucap kata males dan Pak Tukijan malah melengos ke warung kopi. Akhirnya
operator kembali berteriak-teriak mencari Flores 70 untuk info kalau sang order
dah menunggu di lobby RSJ. Akupun tercengang, walau kembali pak Tukijan
menyampaikan “kamu mau nggak? kalau mau ambil aja ordernya” sambil
terbahak-bahak di warung kopi. Akupun dengan geleng-geleng kepala serasa
menolak juga orderan tersebut. Dan akhirnya operator berteriak-teriak untuk
yang ketiga kalinya. Tidak ada jawaban satupun dari pak Tukijan maupun teman sepangkalan
yang mau orderan tersebut. Ujungnya operator memberikan peringatan kepada
lambung Flores 70, kalo sudah menyalahi prosedur. Kesalahan prosedur pak
Tukijan karena sudah bersedia dan siap meluncur tetapi kenyataannya belum juga
sampai ke tempat pemberi order. Akibat yang timbul, operator yang jadi
kekesalan dan omelan pemberi order karena menunggu lama. Buntutnya berantai
sampai ke peringatan yang diberikan untuk pak Tukijan bahkan boikot tidak
diberi order kembali oleh operator.
Kembali operator
menyampaikan pesan di radio kalo antrian berikutnya yang diluncurkan dari
pangkalan. Akupun terdiam, seakan kalo di pangkalan lagi kosong. Sampai tiga
kali operator memanggil tak satupun antrian dipangkalan yang menjawab. Seakan
antrian dibelakangku juga enggan untuk mengambil. Selanjutnya operator melelang
orderan tersebut, berharap ada taksi dengan jarak terdekat yang mau mengambil.
Sampai lima kali operator teriak, juga tak satupun yang menjawab. Tetapi ada
satu rekan yang akhirnya menanggapi di radio. Rekan tersebut memberitahukan
operator kalau teman-teman tidak mau mengambil orderan tersebut karena mungkin
yang diambil adalah orang gila. Dan akhirnya operator menyampaikan bahwa belum
tentu yang dibawa orang gila, karena yang telepon order taksinya kan waras.
Mendengar celotehan operator di radio, terbahak-bahaklah kita sepangkalan.
Bahkan pihak keamanan dan bell boy
hotelpun ikut ketawa terpingkal-pingkal. Dan dengan berpikir yang positif
akhirnya kuberanikan diri untuk mengambil tuh order. Kusampaikan operator
“halong 64..halong 64 Monitor”. Jawab operator, “halong 64 masuk”. Pintaku
membalas, “H64 meluncur order RSJ”. Dengan sigapnya operator merespon “terima
kasih, silahkan”. Kemudian masih dengan pikiran positif, kukemudikan taksiku
untuk meluncur ke RSJ lobby. Tetapi terdengar suara teriak dari rekan-rekan
sepangkalan, “Ati-ati mas, nanti jangan masnya minta order dari RSJ lagi ya..ha..ha..ha”.
Terdengar suara ketawa terbahak-bahak dari teman sepangkalan, kutersenyum dan
terus melaju menghampiri lobby RSJ.
Dipertengahan jalan hampir mendekati lobby RSJ, diriku
merasa bimbang kembali. Terbesit kata dalam hati,
“diambil..enggak..diambil..enggak”. akhirnya kucoba kembali berpikir positif
dan sampailah di depan lobby. Kutanyakan kembali ke operator tentang nama
pemberi order. Jawab operator, “atas nama mbak Cindy”. Tengok sana..tengok sini
mencari mbak Cindy belum ada di lobby. Apalagi tidak ada satupun orang yang ada
dilobby, sepi dan tenang. Kucoba sampaikan operator kalo mbak Cindy belum ada.
Dan jawaban operator dengan santainya, “Ditunggu pak”. Setelah hampir lima
menit kumenunggu, terdengar suara sepatu cewek cetak..cetuk..menghampiriku.
Alangkah kagetnya aku, ketika melihat mbak Cindy. Dengan postur tubuh yang
aduhai, paras yang cantik serta kulit putih yang halus menanyakan, “ini taksi
yang di order mbak Cindy”. Jawabku, “betul mbak”. Akupun sedikit lega mendengar
mbak tadi dan berpikir bukan orang gila yang akan kuantarkan. Tetapi terbesit
sekilas dibenakku, “lah terus, ini mbak sapa?”. Kembali mbak itu berujar, “sebentar ya mas, mbak Cindy masih
dibawa kemari”. Akhirnya pikiran positifku bubar sudah, dan sedikit termangu
menunggu kejelasan kondisi mbak Cindy. Tak lama kemudian mbak Cindy dibawa para
perawat menuju taksiku. Masuklah mbak Cindy di bangku belakang sambil melihatku
cengar-cengir tak jelas. Akupun membalas senyum-senyum sambil berdoa agar mbak
Cindy secepatnya diberi kesembuhan. Ditemani satu perawat, mbak Cindy dipegangi
di kursi belakang, dan mbak yang ternyata dokter duduk disampingku memberikan arah
tujuannya. Ujar si dokter paras cantik, “mas kita ke Malang”. Dalam hati
kubersyukur mendapat tarikan yang lumayan jauh. Tetapi dalam kenyataanya selama
perjalanan, yang ada haha..hihi yang nggak jelas kemana arahnya. Karena si
dokter ngomong A, mbak Cindy ngomong B, perawat ngomong C dan aku sendiri harus
menjawab ABC. Benar-benar pengalaman mengundang tawa sepanjang perjalanan
Surabaya – Malang. Dan benar saja, setelah sampai tujuan, mbak Cindypun tak mau
turun-turun dari taksi. Kembali nasib dan pengalaman yang mengundang tawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar